
Bu Biskuit mempunyai toko kue di sebuah kota kecil. Anak-anak
sangat senang melihat-lihat etalase tokonya, karena banyak yang menarik
dipajang di sana.
Seperti orang-orangan dari roti jahe, kue berbentuk kucing-kucingan atau
anjing-anjingan, kuda dari cokelat, dan kue-kue tart yang indah.
Sebetulnya Bu Biskuit seorang perempuan yang manis
sekali kalau saja ia tak terlalu banyak bercerita yang bukan-bukan. Rupanya dia
tak tahu apa yang disebut jujur itu.
“Apakah kue ini dibuat tadi?” Tanya langganannya.
“Apakah kuenya masih segar?”
“Tentu, Nyonya. Baru sekali!” sahut Bu Biskuit walaupun
ia tahu pasti bahwa kuenya sudah kering dan hampir bau.
Bu Biskuit agak pelit juga. Ia tak pernah memberikan
apapun kepada siapa pun sedapat-dapatnya. Bahkan sepotong kue yang sudah apek
pun tak hendak ia berikan. Kue-kue itu ia jadikan pudding untuk dirinya
sendiri.
Pada suatu hari, ia berniat membuat kue tart yang indah
untuk dipajang di etalase tokonya.
“Kalau mereka mampir melihat kue tart-ku pasti mereka
melihat bolu, biskuit, dan daganganku lainnya,” pikir Bu Biskuit. “Siapa tahu
mereka akhirnya membeli.”
Ia pun mulai membuat kue tart. Tepinya ia hiasi dengan
beberapa kuntum bunga mawar. Tapi, ia tak tahu apa yang harus ditaruhnya
dibagian tengah.
“Ah, kubuat saja rumah-rumahan dari gula,” ujarnya.
“Kubuat ada jendela, pintu dan dua cerobong asapnya. Pasti semua orang senang
melihatnya.”
Bu Biskuit pun mulai membuat rumah-rumahan dari gula.
Rumah-rumahan itu ia beri dua cerobong asap berwarna merah, empat jendela dan
sebuah pintu dari cokelat. Pada dindingnya ditaruh beberapa bunga mawar dari
gula. Setelah gulanya keras,
Bu Biskuit menaruhnya di atas kue tartnya yang besar. Kemudian ia
meletakkan kue itu di etalase.
Mula-mula banyak orang yang tertarik melihatnya. Tapi,
lama-kelamaan orang bosan melihatnya.
“Mengapa tak ada orang-orangan dalam rumah-rumahan itu?”
seorang gadis cilik bertanya. “Rumahkan untuk dihuni orang? Mengapa tidak kau
suruh seorang kurcaci meninggali rumah-rumahan dari gula itu? Pasti orang akan
datang melihat kurcaci itu membuka pintu cokelat dan melongok ke luar dari
jendela berbentuk bunga-bunga mawar itu.” Bu Biskuit menganggap gagasan gadis
itu cukup bagus. Ia mengenakan topi, lalu berangkat ke perkampungan kurcaci.
“Maukah salah seorang dari kalian tinggal di rumah yang
kubuat? Bagus deh, rumahnya tembok dihiasi mawar,” katanya. “Tidak seperti
rumah kalian ini. Sehari berdiri, besoknya sudah ambruk. Rumah yang kubuat di
atas kue tartku tahan berminggu-minggu. Tidak seperti jamur yang kalian
tinggali ini.”
Kurcaci-kurcaci keluar dari rumah jamur mereka. Semuanya
memandang Bu Biskuit.
“Kudengar kau suka berbohong,” kata ketua suku kurcaci.
“Kami makhluk jujur. Kami tak mau hidup dengan orang yang tak jujur.”
“Aku jujur! Kata Bu Biskuit marah. “Belum pernah aku
mengada-ngada!”
“Baguslah kalau begitu,” sahut ketua suku tadi, agak
mempercayai Bu Biskuit. “Kalau begitu, aku senang membiarkan anak sulungku
tinggal di rumah gulamu itu mulai besok.” “Terima kasih,” sahut Bu Biskuit,
senang. Ia pun pulang.
Sebentar saja semua kurcaci tahu, bahwa akan ada kurcaci
yang tinggal di rumah gula Bu Biskuit. Mereka menyambut kabar itu dengan
gembira.
Keesokan harinya, Kelip putra ketua suku kurcaci datang
ke Toko Bu Biskuit. Dan Bu Biskuit memasukkan makhluk kerdil itu ke dalam rumah
gula di atas kuenya. Betapa girang hati kurcaci itu.
Ia membuka pintu mungilnya yang terbuat dari cokelat,
lalu masuk ke dalamnya. Ia tidak membawa perabot rumah tangga sama sekali.
Karenanya, dimintanya Bu Biskuit membuatkan tempat tidur dati cokelat, dua buah
kursi dari gula, serta sebuah meja dari cokelat. Kurcaci itu berkata ia hendak
memasang tirai di jendela serta menutup lainnya dengan karpet.
Tak lama kemudian rumah gula itu pun siap ditiinggali.
Anak-anak datang mengintip. Senang sekali mereka menyaksikan kurcaci membuka
pintu rumahnya lalu mengibaskan keset. Melihat makhluk kerdil itu menutup tirai
jendela juga mengasyikkan. Terkadang ia menyeret meja dan kursinya ke luar dan
duduk-duduk di halaman rumah yang terdiri dari lapangan gula juga. Sering ia
makan di situ.
Bu Biskuit dapat untung banyak. Orang berdatangan ke
tokonya hendak melihat kue tart yang berumah gula. Datang melihat saja,
tidaklah enak. Jadi, terpaksa mereka membeli sesuatu. Pendek kata, Bu Biskuit
menjadi kaya dalam waktu singkat.
Beberapa waktu lamanya, ia ingat dan tidak berbohong
kepada orang. Lalu ia lupa.
“Kue cokelat ini masih segar, ya?” Tanya nenek Tippy
pada suatu pagi.
“Tentu saja,” sahut Bu Biskuit, berbohong. Kue itu sudah
seminggu dibuatnya.
“Kau pembohong!” terdengar suara dari arah rumah gula. Lalu, kurcaci
di dalamnya melongok ke luar. “Kue itu kau buat seminggu yang lalu.”
“Astaga! Betul! Katanya tergopoh-gopoh dan marah bukan
main mendengar suara kurcaci itu. “Ambilah yang ini saja, Nenek Tippy.”
Keesokan harinya, seorang gadis cilik datang hendak
membeli bolu segar. Bu Biskuit cepat-cepat mengambilkan bolu yang sudah apek
dari baki yang ada di belakang tokonya. Bolu-bolu itu ia masukkan ke dalam
kantung.
“Ini masih baru dan segar,” katanya kepada gadis cilik
itu.
“Kau pembohong! Bolunya sudah keras seperti batu!”
terdengar lagi pekik si kurcaci, yang kemudian melongokkan kepalanya dari
jendela rumah gulanya.
“Hus! Diam kau! Bolu ini baru ku buat tadi pagi,” Kata
Bu Biskuit marah.
“Ia berbohong! Jangan bayar dia gadis cilik! Ia
berbohong!”
Gadis cilik itu berlari ke luar toko dengan membawa
kembali uangnya. Bu Biskuit berteriak-teriak memanggilnya.
“aku cuma bercanda,” Katanya kepada anak itu.”
Kemarilah, ku ambilkan untukmu bolu yang baru tadi pagi tadi kubuat.”
“Nah, yang itu boleh kau ambil,” kata si Kurcaci.” Yang itu memang baru.”
Ketika gadis itu sudah pergi, Bu Biskuit mengomel pada
si kurcaci. Ia kaget dan heran ketika mendadak, makhluk kerdil itu menggulung
karpet rumahnya dan menurunkan tirai jendelanya.
“Mau apa kau?” Tanya Bu Biskuit.
“Pulang,” jawabnya.” Aku tak mau tinggal bersama
pembohong seperti kau.”
“Oh, jangan pergi,” rengek Bu Biskuit.” Jangan pergi!
Nanti kau dicari orang.”
“Ah, tidak. Nanti kuberi tahu mereka semua.” Jawab si kurcaci
sambil melipat karpetnya.
“Tinggalah denganku disini. Nanti kubuatkan kau taman
yang indah dari cokelat dan kue jahe, pinta Bu Biskuit.” Aku berjanji tak akan
berbohong lagi.”
“Kalau kau berbohong lagi akan kuberitahu semua orang,”
kata si Kurcaci, membuka kembali gulungan karpetnya.” Jadi, berhati-hatilah, Bu
Biskuit.”
Beberapa hari lamanya, Bu Biskuit sangat berhati-hati si
makhluk kerdil tak berkata apa-apa. Lalu, pada suatu pagi, datang seorang
perempuan miskin meminta-minta. Ia minta diberi kue yang sudah apek.
“Kue apek? Aku tak punya kue seperti itu di sini!” serunya.
“Pergilah kau!”
“Oh, kau perempuan pelit!” Kata si kurcaci dengan
suaranya yang kecil. Ia membuka pintu rumah cokelatnya.”Mana kue yang kau buat
hari Kamis yang lalu dan belum terjual?”
“Sudah kumakan sendiri,” kata Bu Biskuit, marah.” Jangan
sok ikut campur!”
“Kau pembohong,” kata Kurcaci lagi.”Banyak kue apek di
rak sebelah sana.
Kalau tidak kau berikan kepada perempuan
miskin ini sekarang juga, aku akan pulang ke rumah jamurku.”
Bu Biskuit menurunkan kue-kue itu, menaruhnya di kantung
kertas dan melemparkannya kepada perempuan miskin itu. Perempuan peminta-minta
itu mengucapkan terima kasih dan pergi.
Bu Biskuit tidak mengatakan apa-apa kepada si kurcaci
tapi, ia betul-betul marah si kurcaci masuk ke dalam rumah gulanya, sambil
membanting pintu. Ia juga marah melihat orang sepelit Bu Biskuit.
Siang harinya, seorang anak lelaki kecil berbadan kurus
mengendap-endap ke toko, meminta-minta diberi remah-remah kue yang sudah apek
ia kelaparan. Bu Biskuit memandangnya. Lagi-lagi pengemis!
Hampir saja ia mengatakan tak punya kue apek, ketika
dilihatnya si kurcaci melongok keluar dari jendela rumah gulanya. Ia pun
bergegas mengambilkan roti yang sudah apek dan memberikannya kepada anak itu.
Anak itu sangat gembira dan mengucapkan terima kasih
sambil mencium tangan gemuk Bu Biskuit. Baru pertama kali itulah Bu Biskuit
dicium seseorang. Ternyata, dia sangat senang merasakan ciuman itu. Senyumnya mengembang,
menghiasi wajahnya. Ibanya timbul melihat betapa kurusnya tubuh anak itu. Bu
Biskuit lalu menurunkan kue cokelat segar dari rak dan memberikannya kepada
anak itu.
“Oh!” Seru anak itu kegirangan.”Anda baik sekali!
Betulkah ini untukku?”
Ia keluar dari toko sambil menyanyi-nyanyi, Bu Biskuit
melihat bagian tangannya yang dicium
anak itu tadi. Terasa hangat hatinya. Ternyata, berbuat kebaikan itu
menyenangkan, pikirnya. Ia akan mencobanya lagi.
Bu Biskuit memandang keluar terlihat olehnya segerombolan
orang sedang melihat etalase tokonya. Lalu dilihatnya si kurcaci
sedang menari-nari riang di halaman rumah gulanya. Tariannya itu betul-betul
memukau orang-orang yang lewat. Mereka lalu berhenti dan menyaksikan dengan
kagum.
“Mengapa kau menari-nari begitu?” Tanya Bu Biskuit
keheranan.
“Aku gembira, kau berbuat kebaikan. Itulah sebabnya aku
menari, merayakan kegembiraan hatiku!” kata si makhluk kerdil.
Kali berikutnya, ketika ada peminta-minta datang, Bu
Biskuit bersikap baik lagi. Ia ingin merasakan kembali kehangatan yang
merambati hatinya ketika berbuat baik. Ia pun membungkus pie cherry serta menaruh beberapa bolu jahe dalam bungkusan untuk
lelaki tua yang datang meminta remah-remah. Pengemis itu begitu kaget dan
gembira menerima kue-kue itu hingga hampir tak kuasa mengucapkan terima kasih.
Si kurcaci membuka pintu rumahnya. Ia lalu mulai menyanyi dengan syair yang
mengungkapkan kebaikan hati Bu Biskuit. Muka Bu Biskuit jadi merah padam, dan
tak tahu harus membunyikan wajahnya ke mana.
Lalu datanglah Pak Jerami, petani, hendak membeli kue
ulang tahun untuk isterinya. Ada
dua kue jahe di toko Bu Biskuit. Yang satu dibuat beberapa hari sebelumnya, dan
lainnya tadi pagi. Bu Biskuit mengambil yang sudah lama dan memasukkannya ke
dalam kantung.
“Pasti itu yang baru?” Tanya Pak Jerami. Bu Biskuit
membuka mulut hendak berbohong. Cepat ia membatalkan.
Berbohong tidak baik. Apalagi kalau kue itu untuk isteri
Pak Jerami yang sedang berulang tahun.
“E, tidak. Yang ini kurang segar,” katanya. “Kuambilkan
yang lebih baru, yang baru tadi pagi kubuat.”
Si kurcaci sedang mengintip dari jendela rumahnya sudah
siap-siap meneriakkan “pembohong”.
Ia tidak jadi meneriakkan kata-kata itu, tetapi bersorak-sorai kegirangan.
“Dia perempuan jujur!” katanya. “Dia Jujur!”
“Astaga, Pak
Jerami, melihat berkeliling. “Itukah kurcacimu, Bu Biskuit? Wah, aku sangat
senang mendapatkan kue yang baru. Terima kasih, Bu Biskuit. Aku betul-betul
menghargai kejujuran anda. Bagaimana kalau anda datang ke pesta ulang tahun
isteriku sore nanti?”
“Wah dengan
senang hati,” sahut Bu Biskuit. Ia bersyukur tak jadi memberikan kue yang sudah
basi kepada Pak Jerami. Bagaimana kata orang nanti kalau mencicipi kue
buatannya yang ternyata basi?
Itulah kali
terakhir Bu Biskuit punya niat berbohong. Ia merasa puas setiap kali selesai
mengatakan sejujurnya kepada seseorang atau sehabis berbuat kebaikan. Dalam
waktu singkat, orang menyukainya. Mereka selalu membeli kue dan roti dari
tokonya.
Bu Biskuit
pun jadi orang kaya di desanya. Ia lalu membeli sebuah gubuk mungil dan tinggal
di sana.
Kue tart
berumah gula dibawanya pindah. Ia menaruh kue itu di meja dekat jendela agar
rumahnya disinari matahari!
Itu pertanda
Bu Biskuit masih terus jujur dan baik hati hingga sekarang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar