PERUBAHAN PASCA PANEN BUAH
JAMBU METE
Tugas Terstruktur Fisiologi Pascapanen
Oleh
:
Risqiyatul Jannah
A1M012016
KEMENTERIAN
PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN
UNIVERSITAS
JENDERAL SOEDIRMAN
FAKULTAS
PERTANIAN
PURWOKERTO
2014
RINGKASAN
Jambu
Mete (Anacardium occidentale) termasuk
tumbuhan yang berkeping biji dua atau juga disebut tumbuhan berbiji belah.. Buah jambu mete
merupakan buah non klimaterik. Dari segi tampilan buah jambu mete memiliki
bentuk yang menarik, yakni berbentuk bulat lonjong seperti apel dan terdapat
kacang mete yang dapat dimanfaatkan kacang dan buahnya untuk berbagai produk
makanan. Namun sangat disayangkan, buah jambu mete ini merupakan buah yang
sangat mudah rusak. Seringkali setelah pemanenan terjadi perubahan-perubahan, baik
secara fisiologis maupun secara biokimiawi. Perubahan-perubahan yang biasa
terjadi tersebut adalah perubahan warna
merah ke merah kehitaman, kerusakan patologis, keruskan mekanis karena memar
atau kesalahan pemanenan dan pengangkutan, pembusukan karena ditumbuhi kapang,
bakteri dan jamur, penurunan susut bobot dan respirasi berlanjut. Perubahan yang sangat terlihat dari buah jambu ini
adalah kerusakan mekanis. Hal ini yang menyebabkan buah kurang menarik di
pasaran.
Budidaya jambu mete di Indonesia merupakan
usaha yang sangat komersil, karena buah jambu mete memiliki nilai ekonomis yang cukup
tinggi. Seringkali usaha ini terhambat oleh sifat jambu mete yang mudah rusak,
maka dari itu dilakukan penanganan-penangan untuk mempertahankan kualitas buah jambu
mete di pasaran. Usaha tersebut diantaranya, pengeringan dan dehidrasi,
pendinginan, pengemasan, pelapisan lilin dan modifikasi atmosfer penyimpanan. Dengan
perlakuan yang baik dan tepat diharapkan mampu mempertahankan kualitas buah jambu
mete pasca panen, sehingga dapat mendukung usaha budidaya buah jambu metedi
Indonesia.
I.
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pascapanen atau lepas panen merupakan suatu periode yang dilewati oleh
organ panenan suatu komoditi hortikultura setelah pemetikan (dipanen). Setelah
memasuki periode tersebut, pada organ panenan mengalami perubahan metabolisme
akibat dari terlepasnya hubungan dengan tanaman induk dan akibat lingkungan
yang dihadapinya. Masih adanya proses-proses metabolisme dikarenakan organ
panenan hortikultura bersangkutan masih merupakan organ atau bahan yang hidup.
Namun demikian, periode kehidupan tersebut memiliki batasan waktu yang singkat,
yaitu selama cadangan makanan masih cukup mampu mendukung proses metabolisme
seperti respirasi. Cadangan makanan tersebut tentunya akan habis seiring dengan
waktu, dan pada saat cadangan makanan telah habis, maka organ panenan mengalami
senesen dan kemudian diakhiri dengan kerusakan berupa pembusukan. Jambu mete
mete merupakan salah satu jenis buah yang cepat membusuk setelah dipanen karena
mengandung kadar air tinggi dan daging buah lunak saat pemasakan. Untuk
mengetahui lebih lanjut cara memperpanjanxg umur simpan buah jambu mete maka
akan dibahas lebih lanjut di bab selanjutnya.
B. Tujuan
Makalah ini bertujuan untuk mengetahui kerusakan
fisiologis pasca panen buah jambu mete dan cara memperpanjang umur simpannya.
II.
STUDI PUSTAKA
A.
Buah Jambu Mete ( Anacardium occidentale L. )
Jambu Mete (Anacardium occidentale) termasuk tumbuhan
yang berkeping biji dua atau juga disebut tumbuhan berbiji belah. Nama yang
tepat untuk mengklasifikasikan tumbuhan ini adalah tumbuhan yang berdaun
lembaga dua atau disebut juga dikotil. Jambu monyet mempunyai batang pohon yang
tidak rata dan berwarna coklat tua. Liptan (1999).
Jambu mete merupakan tanamnan buah berupa
pohon yang berasal dari Brasil Tenggara. Tanaman ini dibawa oleh pelaut
Portugis ke India 425 tahun yang lalu, kemudian menyebar ke daerah tropis dan
subtropis lainnya seperti Bahana, Senegal, Kenya, Madagaskar, Mozambik, Srilangka,
Thailand, Malaysia, Filipina, dan Indonesia. Di antara sekian banyak negara
produsen, Brasil, Kenya, dan India merupakan negara pemasok utama jambu mete
dunia. Jambu mete tersebar di seluruh Nusantara dengan nama berbeda-beda (di Sumatera
Barat: jambu erang/jambu monye, di Lampung dijuluki gayu, di
daerah Jawa Barat dijuluki jambu mede, di Jawa Tengah dan Jawa Timur
diberi nama jambu monyet, di Bali jambu jipang atau jambu
dwipa, dan di Sulawesi Utara disebut buah yaki.
Sistematika tumbuhan jambu monyet adalah
sebagai berikut :
Kingdom : Plantae
Divisi : Spermatophyta
Class : Dicotyledoneae
Ordo : Anacardiales
Famili : Anacardiaceae
Genus : Anacardium
Spesies : Anacardium occidentale L.
Pohon jambu mete tinggi 8-12 m, memiliki
cabang dan ranting yang banyak. Batang melengkung, berkayu, bergetah,
percabangan mulai dari bagian pangkalnya. Daun tunggal, bertangkai, panjang
4-22,5 cm, lebar 2,5 -15 cm. Helaian daun berbentuk bulat telur sungsang, tepi
rata, pangkal runcing, ujung membulat dengan lekukan kecil di bagian tengah,
pertulangan menyirip, berwarna hijau. Bunga berumah satu memiliki bunga betina
dan bunga jantan, tersusun bentuk malai, keluar di ketiak daun atau di ujung
percabangan. Buahnya batu, keras, melengkung. Tangkai buahnya lama kelamaan
akan menggelembung menjadi buah semu yang lunak, seperti buah peer, berwarna
kuning, kadang-kadang bernoda merah, rasanya manis agak sepat, banyak
mengandung air, dan berserat. Biji bulat panjang, melengkung, pipih, warnanya
cokelat tua.
Ditinjau dari segi struktur anatomis
menunjukkan bahwa jambu mete bagian luarnya terdapat kulit buah yang sangat
tipis, yang terdiri dari lapisan epidermis, dengan sel-sel poligonal
isodiametrik. Pada lapisan ini tidak ditemukan stomata. Bagian terluar terdapat
lapisan lilin, sehingga kulit terlihat mengkilat. Bagian di bawahnya terdapat
lapisan hipoderma yang terdiri dari beberapa lapis, dengan sel-sel yang bebas
pati. Di bagian sebelah dalam terdapat lapisan parenkim yang mengandung pati,
dengan disertai rongga eleoresin dan dikelilingi oleh sel-sel yang pipih dan
serabut-serabut pengangkut dengan sel-sel panjang. Oleh karenanya bagian daging
buah ini menjadi lunak dan berserabut yang liat dan banyak mengandung air.
(Winton, 1949).
B.
Panen dan Pasca Panen Buah Jambu Mete
Panenan hasil
dilakukan bilamana buah jambu mete telah masak. Sebagai tanda bahwa buah jambu
mete telah masak ialah bilamana warna dassar kulit buah jambu berubah menjadi
merah, kuning atau jingga tergantung jenisnya. Pada titik ini maka ciri-ciri yang
utama dari buah jambu yang masih hijau, misalnya rasa sepetnya pada kadar yang
rendah. Daging buah menjadi lunak, bersifat sukullen/juicy, berasa
manis/sugary, dan baunya yang harum spesifik jambu mete mulai timbul.
(Muljohardjo, 1990)
Ciri-ciri buah jambu mete yang sudah tua adalah sebagai berikut:
a) Warna kulit buah semu menjadi kuning, oranye,
atau merah tergantung pada
jenisnya.
b) Ukuran buah semu lebih besar dari buah sejati.
c) Tekstur daging semu lunak, rasanya asam agak
manis, berair, dan aroma
buahnya mirip aroma stroberi.
d) Warna kulit bijinya menjadi putih keabu-abuan
dan mengilat.
Ketepatan masa panen dan penanganan buah mete
selama masa pemanenan merupakan faktor penting. Tanaman jambu mete dapat
dipanen untuk pertama kali pada umur 3-4 tahun. Buah mete biasanya telah dapat
dipetik pada umur 60-70 hari sejak munculnya bunga. Masa panen berlangsung
selama 4 bulan, yaitu pada bulan November sampai bulan Februari tahun
berikutnya. Agar mutu gelondong/kacang mete baik, buah yang dipetik harus telah
tua. (Saragih, 1994)
Proses pemanenan sering berakibat pada
pelukaan, terlebih pada saat pengemasan dan transportasi dapat menyebabkan
kerusakan lanjutan. Menurut Rukmana (2004). Cara pemanenan buah jambu mete ada
dua prinsip, yaitu cara lelesan/pengumpulan dan car selektip. Cara
lelesan/pengumpulan yaitu mengumpulkan buah-buah jambu mete yang telah jatuh di
atas tanah. Sedangkan cara selektip yaitu memetik buah-buahan jamu mete yang
benar-benar telah masak. (Muljohardjo, 1990)
C.
Karakteristik UmumProduk Pasca Panen
Semua produk pascapanen buah dan sayur adalah
berupa bagian tanaman hidup. Pengertian ”hidup” mencerminkan bahwa produk
tersebut masih melakukan proses fisiologi normalnya. Proses fisiologi yang
terjadi meliputi fotosintesis, respirasi, transpirasi dan pelayuan.
1.
Fotosintesis
Fotosintesis adalah suatu proses pada tanaman
hijau untuk merubah energi matahari, dengan ketersediaan CO2 dan H2O
menjadi karbohidrat dan O2. Proses ini hanya bisa terjadi bila ada
sinar. Sinar tersebut harus dengan intensitas tinggi untuk bisa terjadinya
fotosintesis yang aktif. Pada fase pascapanen, sinar sering ditiadakan atau ada
sinar, tetapi jauh di bawah intensitas yang dapat digunakan untuk fotosintesis.
Dari pandangan pascapanen, fotosintesis atau produksi karbohidrat berhenti pada
saat pemanenan. Ini berarti bahwa proses hidup yang terjadi setelah panen harus
menggunakan karbohidrat cadangan yang terbatas jumlahnya dan terus menurun jumlahnya
selama periode pascapanen. Karena produk segar yang dimakan adalah memanfaatkan
karbohidratnya, sehingga berkurangnya karbohidrat tersebut harus diminimalkan.
2.
Respirasi
Respirasi dijadikan sebagai indikator dari
aktivitas metabolisme dalam jaringan. Aktivitas ini memecah karbohidrat yang
diproduksi selama proses fotosintesis dengan ketersediaan O2 yang
menghasilkan CO2, H2O dan energi. Proses ini tidak
memerlukan air, dan terjadi siang-malam. Tujuan dari teknik pascapanen adalah
menurunkan laju respirasi yang berarti pula menurunkan perombakan karbohidrat.
Respirasi memproduksi panas. Setiap gram berat
molekul glukosa yang direspirasikan menghasilkan 673 joules energi
panas. Panas yang dihasilkan ini menyebabkan masalah selama pendistribusian
produk buah dan sayur tersebut.
3.
Transpirasi
Transpirasi adalah proses fisik di mana uap
air lepas dari jaringan tanaman berevaporasi ke lingkungan sekitar. Peranan
dari transpirasi adalah melepaskan air ke luar struktur tanaman. Untuk mengatur
suhu bahan tetap normal melalui proses pendinginan eveporatif. Proses
fisiologis ini menggunakan energi dari respirasi untuk merubah air menjadi uap
air. Ingat perubahan stadia dari cair menjadi gas adalah membutuhkan energi.
Transpirasi, secara prinsip terjadi pada daun melalui struktur yang dinamakan
stomata. Sebagai proses yang tipikal yang terjadi pada jaringan hidup,
transpirasi dipengaruhi oleh aktivitas fisiologis produk.
4.
Pelayuan
Perkembangan buah dan sayuran dapat dibagi
menjadi tiga stadia fisiologis utama setelah perkecambahan. Ketiga stadia
tersebut adalah Pertumbuhan, Pendewasaan, dan Pelayuan.
Pertumbuhan meliputi pertambahan dalam ukuran dan bahan kering; Pendewasaan
tumpang tindih dengan Pertumbuhan dan melibatkan berbagai aktivitas;
Pelayuan meliputi pemecahan bahan kering. Pelayuan
adalah proses fisiologis khusus mengakibatkan degradasi
molekul dengan struktur yang komplek. Tanda-tanda Pelayuan dapat
meliputi pemecahan klorofil, serta absisi daun dan petala. Pelayuan ádalah
termasuk atau bagian dari kemunduran. (Utama, 2013).
D.
Fisiologi Pasca Panen Buah Jambu Mete
Ada beberapa perubahan selama proses pematangan buah antara
lain, perubahan
pola respirasi, perubahan rasa dan bau, perubahan warna
serta perubahan tekstur. Mutu
buah-buahan tidak dapat diperbaiki, tetapi hanya dapat dipertahankan.
Mutu yang baik diperoleh bila pemanenan hasil dilakukan pada tingkat
kemasakan yang tepat. Buah-buahan yang belum masak, bila dipanen akan menghasilkan
mutu yang kurang baik dan proses pematangan yang salah. Penundaan waktu pemanenan buah-buahan akan
meningkatkan kepekaan buah terhadap pembusukan, akibatnya mutu dan nilai jualnya
rendah (Pantastico, 1989).
Selain proses respirasi terjadi pula proses
transpirasi, yakni hilangnya air pada jaringan yang masih hidup. Transpirasi
dan respirasi ini menyebabkan adanya susut bobot pada buah, namun susut bobot
paling besar diakibatkan oleh adanya transpirasi. Dengan terjadinya susut bobot
makan mengakibatkan penurunan kualitas. Respirasi merupakan faktor terbesar
dalam penurunan kualitas suatu buah. Suhu yang semakin tinggi akan menyebabkan
proses respirasi semakin cepat dan semakin cepat respirasi makan semakin cepat
pula terjadi penurunan kualitas suatu buah.
Kecepatan pematangan buah terjadi karena zat tumbuh mendorong pemecahan tepung dan penimbunan
gula. Proses pemecahan tepung dan penimbunan gula tersebut merupakan proses
pemasakan buah dimana ditandai dengan terjadinya perubahan warna, tekstur buah
dan bau pada buah atau terjadinya pemasakan buah. Kebanyakan buah tanda
kematangan pertama adalah hilangnya warna hijau. Kandungan klorofil buah yang
sedang masak lambat laut berkurang. Saat terjadi klimaterik klorofilase
bertanggung jawab atas terjadinya penguraian klorofil. Penguraian hidrolitik
klorofilase yang memecah klorofil menjadi bagian vital dan inti porfirin yang
masih utuh, maka klorofilida yang bersangkutan tidak akan mengakibatkan
perubahan warna. Bagian profirin pada molekul klorofil dapat mengalami oksidasi
atau saturasi, sehingga warna akan hilang. Lunaknya buah disebabkan oleh adanya
perombakan photopektin yang tidak larut. Pematangan biasanya meningkatkan
jumlah gula-gula sederhana yang memberi rasa manis (Pantastico, 1989).
Jambu Mete merupakan buah non klimaterik, yakni buah yang
memiliki tingkat produksi CO2 yang rendah. Sehingga proses
pematangan buah hanya terjadi pada saat buah bergelantungan di pohon. Ketika
pasca panen buah jambu mete mengalami beberapa perubahan yang dapat
mengakibatkan penurunan kualitas. Perubahan tersebut diantaranya, perubahan warna
merah ke merah kehitaman, meningkatnya kadar air, keruskan mekanis karena memar
atau kesalahan pemanenan dan pengangkutan, pembusukan karena ditumbuhi kapang,
bakteri dan jamur, penurunan susut bobot dan respirasi berlanjut.
III.
PEMBAHASAN
Setelah dilakukan pemanenan buah jambu mete,
tentu saja terjadi berbagai perubahan fisiologis, seperti adanya perubahan
warna kulit, kerusakan mekanis, susut bobot buah, kerusakan patologis, dan
respirasi berlanjut. Buah yang telah dipanen tentu saja diharapkan agar
memiliki kualitas yang baik, dalam peningkatan kualitas buah yang telah dipanen
tentu saja tidak bisa dilakukan, hanya saja kita bisa mempertahankan kualitas
dari buah yang telah dipanen. Maka dari itu akan dibahas perubahan apa saja
yang terjadi pada buah jambu mete dan bagaimana cara penanganannya.
a.
Warna kulit dan biji buah jambu mete
Warna kulit jambu
mete berwarna merah, kuning atau jingga saat pemasakan. Tetapi warna buah akan
berubah menajdi merah kehitaman saat buah mengalami pembusukan karena mengalami
memar, kemasukan serangga, meningkatnya kadar air dan mengalami respirasi
lanjut.
Buah jambu mete yang
kandungan kadar air masih tinggi, selama penyimpanan cairan CNSL (Cashew Nut
Shell Liquid) yang ada di dalam kulit akan mendifusi ke dalam biji mete.
Sehingga dengan demikian biji mete akan berwarna coklat hitam dan kualitasnya
akan menjadi menurun. (Muljohardjo, 1990).
Untuk menghindari
perubahan warna kulit dan biji jambu mete diperlukan penanganan pengeringan
untuk mengurangi pembusukan karena aktivitas mikroba pada kadar air tinggi yang
menyebabkan biji mete berwarn coklat hitam dan diperlukan penanganan
pengangkutan dan pemanenan yang benar untuk mengurangi memar pada buah yang
menyebabkan warna buah menjadi merah kehitaman
b.
Kerusakan mekanis
Proses pemanenan menyebabkan kerusakan
mekanis, menyebabkan produk menjadi stress dan perubahan rekasi metabolisme.
Produk secara alami akan memproduksi etilen sebagai respon adanya kerusakan.
Etilen adalah hormon tanaman yang mengendalikan fase pelayuan (atau kematian)
di dalam tanaman. Pada produk buah dan sayur setelah panen, peningkatan
produksi etilen akan mengakibatkan peningkatan laju kemunduran atau kelayuan,
yang sangat tidak diinginkan. (Utama, 2013).
Seperti halnya
dengan buah-buah yang lain, buah jambu mete ini bilamana telah masak menjadi
lunak. (Muljohardjo, 1990).
Buah jambu mete yang
rusak karena jatuh dari pohon atau salah cara pemetikan akan menimbulkan
lecet-lecet pada jambu mete. Jambu mete mudah memar jika terkena
tekanan-tekanan dan mudah matang selama proses pengangkutan atau
pendistribusian, sehingga buah mudah membusuk.
Pengangkutan buah
jambu mete merupakan bagian penting dalam penanganan lepas panen. Sebab
bilamana penanganan buah jambu mete yang kurang memadai dalam pengangkutannya
akan menyebabkan terjadinya kerusakan-kerusakan terhadap buah jambu mete.
Sehingga dengan demikian juga akan menurunkan kualitasnya. (Muljohardjo, 1990).
Pengangkutan buah
jambu mete biasanya dilakukan dengan mengemas dalam bakul/keranjang bambu atau
karung goni/kain, dan diangkut menggunakan gerobag, truk dan alat-alat
transportasi lainnya untuk mengurangi tingkat kerusakan mekanis jambu mete.
c.
Kerusakan Patologis
Kerusakan dan susut karena pembusukan untuk
produk segar cukup tinggi. Kerusakan ini terutama berakibat terhadap penurunan
mutu. Kebanyakan infeksi yang dilakukan oleh mikroorganisme patogenik adalah
melalui jaringan yang rusak secara mekanis (luka atau kulit yang tertusuk).
Dengan demikian, metode penanganan setelah panen akan sangat menentukan
besar-kecilnya pembusukan pascapanen. Pembusukan pascapanen untuk produk segar
umumnya disebabkan oleh jamur dan bakteria. Untuk buah-buahan, umumnya yang
menyerang adalah jamur sedangkan sayur-sayuran adalah bakteri. Hal ini
kemungkinan disebabkan oleh pH buah-buahan yang umumnya di bawah 4.5, yang
menghambat kebanyakan bakteri pembusuk. (Utama, 2013)
Jambu mete saat
dipanen atau segar lepas dipungut/dikumpulkan masih banyak mengandung air.
Kadar air jambu mete saat dipanen kurang lebih 16%. Pada kadar air yang tinggi
ini mudah sekali diserang oleh serangga, kapang, jamur dan bakteri sehingga
cepat terjadi pembusukan.
Untuk mengurangi kadar air jambu mete agar tidak mudah rusak dilakukan pengeringan dan dehidras. pengeringan kacang mete bertujuan untuk mencegah serangan hama dan
jamur serta meningkatkan daya simpan. Pengeringan tidak boleh terlalu
berlebihan karena dapat menyebabkan kacang mete rapuh sehingga dapat meningkatkan
persentase pecah pada penanganan selanjutnya.
Karena pada kadar air yang tinggi serangga dapat masuk menembus ke dalam
biji dengan jalan melubangi biji pada bagian pangkal buah, ialah tempat
melekatnya buah semu. (Muljohardjo, 1990).
d.
Susut Buah dan Respirasi
Susut
bobot merupakan salah satu faktor yang mengindikasikan
penurunan mutu buah (Pratiwi, 2008).
Kehilangan air dapat mengakibatkan susut
produk secara qualitatif dan kuantitatif. Mengurangi penampakan karena pelayuan
dan pengkerutan, mengurangi sukulensi karena penurunan turgiditas, berkurangnya
kerenyahan dan hilangnya juiceness, semuanya adalah kehilangan
kualitatif. Untuk produk- produk yang dijual berdasarkan berat, kehilangan air
adalah bersifat kuantitatif. (Utama, 2013)
Transpirasi merupakan proses fisiologis, yakni hilangnya air pada jaringan
yang masih hidup dan merupakan
faktor dominan penyebab susut
bobot. Transpirasi terjadi secara fisiokimia berupa penyerapan dan pelepasan
air ke lingkungan. Kerusakan tekstur dan pengerutan merupakan indikasi
yang dipengaruhi oleh kehilangan air.
Kecepatan respirasi merupakan indikator mutu. Semakin cepat respirasi,
makan penurunan kualitas semakin banyak. Respirasi pun dipengaruhi oleh suhu,
semakin tinggi suhu semakin cepat respirasi dan semakin banyak substrat yang
akan dirombak.
Pada saat susut buah jambu mete menurun, diiringi dengan menurunnya kadar
vitamin C dan kadar tanin. Susut buah juga menyebabkan jambu mete mengalami
penurunan turgiditas, berkurangnya kerenyahan dan hilangnya juiceness,
dan berat buah menurun.
Untuk mengendalikan susut buah, respirasi,
menurunnya kadar tanin dan vitamin C diperlukan pelapisan lilin dan pengemasan sangat efektif dalam mempertahankan bobot
buah, hal ini terjadi karena proses transpirasi dan respirasi pada buah jambu
mete dapat dihambat dengan penutupan stomata melalui pelapisan lilin dan
kemasan. Kehilangan air bukan hanya mengurangi bobot, tetapi juga menyebabkan penampakan
buah menjadi kurang menarik, tekstur jelek dan mutu menurun.
Kader (1985) menyatakan bahwa dengan
modifikasi udara penyimpanan akan dapat menghambat laju respirasi, menunda
penurunan kekerasan buah serta menghambat perubahan komposisi buah, dimana
proses tersebut berhubungan dengan proses pemasakan.
IV.
KESIMPULAN DAN SARAN
A.
Kesimpulan
Jambu Mete (Anacardium occidentale)
merupakan buah non klimaterik, yakni buah yang
memiliki tingkat produksi CO2 yang rendah. Sehingga proses
pematangan buah hanya terjadi pada saat buah bergelantungan di pohon. Ketika
pasca panen buah jambu mete mengalami beberapa perubahan yang dapat
mengakibatkan penurunan kualitas. Perubahan tersebut diantaranya, perubahan
warna merah ke merah kehitaman, kerusakan patologis, kerusakan mekanis karena
memar atau kesalahan pemanenan dan pengangkutan, pembusukan karena ditumbuhi
kapang, bakteri dan jamur, penurunan susut bobot dan respirasi berlanjut. Untuk
susut bobot disebabkan oleh adanya proses transpirasi, yakni proses yang
terjadi secara fisiokimia
berupa penyerapan dan pelepasan
air ke lingkungan. Upaya yang adapat dilakukan untuk mempertahankan mutu buah jambu mete
diantaranya adalah pengeringan dan dehidrasi, pendinginan, pengemasan, pelapisan
lilin dan modifikasi atmosfer penyimpanan. Dengan perlakuan yang baik dan tepat
diharapkan mampu mempertahankan kualitas buah jambu mete pasca panen,
B.
Saran
Sering dilakukan penelitian buah jambu
mete untuk mempertahankan kualitas buah.
Penelitian yang dilakukan diharapkan baik dan tepat, serta efisien. Sehingga
kualitas dan umur simpan dari buah jambu mete mampu bertahan lebih lama. Selain
itu dalamdalam pemanenan jambu mete harus dilakukan dengan benar, karena sjambu
mete yang mudah rusak saat kesalahan melakukan pemanenan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar