Selasa, 10 Juni 2014

PERUBAHAN PASCA PANEN BUAH JAMBU METE

PERUBAHAN PASCA PANEN BUAH JAMBU METE
Tugas Terstruktur Fisiologi Pascapanen










Oleh :
Risqiyatul Jannah
A1M012016




KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN
UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
FAKULTAS PERTANIAN
PURWOKERTO
2014

RINGKASAN

Jambu Mete (Anacardium occidentale) termasuk tumbuhan yang berkeping biji dua atau juga disebut tumbuhan berbiji belah.. Buah jambu mete merupakan buah non klimaterik. Dari segi tampilan buah jambu mete memiliki bentuk yang menarik, yakni berbentuk bulat lonjong seperti apel dan terdapat kacang mete yang dapat dimanfaatkan kacang dan buahnya untuk berbagai produk makanan. Namun sangat disayangkan, buah jambu mete ini merupakan buah yang sangat mudah rusak. Seringkali setelah pemanenan terjadi perubahan-perubahan, baik secara fisiologis maupun secara biokimiawi. Perubahan-perubahan yang biasa terjadi tersebut adalah  perubahan warna merah ke merah kehitaman, kerusakan patologis, keruskan mekanis karena memar atau kesalahan pemanenan dan pengangkutan, pembusukan karena ditumbuhi kapang, bakteri dan jamur, penurunan susut bobot dan respirasi berlanjut. Perubahan yang sangat terlihat dari buah jambu ini adalah kerusakan mekanis. Hal ini yang menyebabkan buah kurang menarik di pasaran.
Budidaya jambu mete di Indonesia merupakan usaha yang sangat komersil, karena buah  jambu mete memiliki nilai ekonomis yang cukup tinggi. Seringkali usaha ini terhambat oleh sifat jambu mete yang mudah rusak, maka dari itu dilakukan penanganan-penangan untuk mempertahankan kualitas buah jambu mete di pasaran. Usaha tersebut diantaranya, pengeringan dan dehidrasi, pendinginan, pengemasan, pelapisan lilin dan modifikasi atmosfer penyimpanan. Dengan perlakuan yang baik dan tepat diharapkan mampu mempertahankan kualitas buah jambu mete pasca panen, sehingga dapat mendukung usaha budidaya buah jambu metedi Indonesia.

I.                   PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Pascapanen atau lepas panen merupakan suatu periode yang dilewati oleh organ panenan suatu komoditi hortikultura setelah pemetikan (dipanen). Setelah memasuki periode tersebut, pada organ panenan mengalami perubahan metabolisme akibat dari terlepasnya hubungan dengan tanaman induk dan akibat lingkungan yang dihadapinya. Masih adanya proses-proses metabolisme dikarenakan organ panenan hortikultura bersangkutan masih merupakan organ atau bahan yang hidup. Namun demikian, periode kehidupan tersebut memiliki batasan waktu yang singkat, yaitu selama cadangan makanan masih cukup mampu mendukung proses metabolisme seperti respirasi. Cadangan makanan tersebut tentunya akan habis seiring dengan waktu, dan pada saat cadangan makanan telah habis, maka organ panenan mengalami senesen dan kemudian diakhiri dengan kerusakan berupa pembusukan. Jambu mete mete merupakan salah satu jenis buah yang cepat membusuk setelah dipanen karena mengandung kadar air tinggi dan daging buah lunak saat pemasakan. Untuk mengetahui lebih lanjut cara memperpanjanxg umur simpan buah jambu mete maka akan dibahas lebih lanjut di bab selanjutnya.

B. Tujuan
Makalah ini bertujuan untuk mengetahui kerusakan fisiologis pasca panen buah jambu mete dan cara memperpanjang umur simpannya.




II.                STUDI PUSTAKA

A.    Buah Jambu Mete ( Anacardium occidentale L. )
Jambu Mete (Anacardium occidentale) termasuk tumbuhan yang berkeping biji dua atau juga disebut tumbuhan berbiji belah. Nama yang tepat untuk mengklasifikasikan tumbuhan ini adalah tumbuhan yang berdaun lembaga dua atau disebut juga dikotil. Jambu monyet mempunyai batang pohon yang tidak rata dan berwarna coklat tua. Liptan (1999).
Jambu mete merupakan tanamnan buah berupa pohon yang berasal dari Brasil Tenggara. Tanaman ini dibawa oleh pelaut Portugis ke India 425 tahun yang lalu, kemudian menyebar ke daerah tropis dan subtropis lainnya seperti Bahana, Senegal, Kenya, Madagaskar, Mozambik, Srilangka, Thailand, Malaysia, Filipina, dan Indonesia. Di antara sekian banyak negara produsen, Brasil, Kenya, dan India merupakan negara pemasok utama jambu mete dunia. Jambu mete tersebar di seluruh Nusantara dengan nama berbeda-beda (di Sumatera Barat: jambu erang/jambu monye, di Lampung dijuluki gayu, di daerah Jawa Barat dijuluki jambu mede, di Jawa Tengah dan Jawa Timur diberi nama jambu monyet, di Bali jambu jipang atau jambu dwipa, dan di Sulawesi Utara disebut buah yaki.
Sistematika tumbuhan jambu monyet adalah sebagai berikut :
Kingdom : Plantae
Divisi : Spermatophyta
Class : Dicotyledoneae
Ordo : Anacardiales
Famili : Anacardiaceae
Genus : Anacardium
Spesies : Anacardium occidentale L.

Pohon jambu mete tinggi 8-12 m, memiliki cabang dan ranting yang banyak. Batang melengkung, berkayu, bergetah, percabangan mulai dari bagian pangkalnya. Daun tunggal, bertangkai, panjang 4-22,5 cm, lebar 2,5 -15 cm. Helaian daun berbentuk bulat telur sungsang, tepi rata, pangkal runcing, ujung membulat dengan lekukan kecil di bagian tengah, pertulangan menyirip, berwarna hijau. Bunga berumah satu memiliki bunga betina dan bunga jantan, tersusun bentuk malai, keluar di ketiak daun atau di ujung percabangan. Buahnya batu, keras, melengkung. Tangkai buahnya lama kelamaan akan menggelembung menjadi buah semu yang lunak, seperti buah peer, berwarna kuning, kadang-kadang bernoda merah, rasanya manis agak sepat, banyak mengandung air, dan berserat. Biji bulat panjang, melengkung, pipih, warnanya cokelat tua.
Ditinjau dari segi struktur anatomis menunjukkan bahwa jambu mete bagian luarnya terdapat kulit buah yang sangat tipis, yang terdiri dari lapisan epidermis, dengan sel-sel poligonal isodiametrik. Pada lapisan ini tidak ditemukan stomata. Bagian terluar terdapat lapisan lilin, sehingga kulit terlihat mengkilat. Bagian di bawahnya terdapat lapisan hipoderma yang terdiri dari beberapa lapis, dengan sel-sel yang bebas pati. Di bagian sebelah dalam terdapat lapisan parenkim yang mengandung pati, dengan disertai rongga eleoresin dan dikelilingi oleh sel-sel yang pipih dan serabut-serabut pengangkut dengan sel-sel panjang. Oleh karenanya bagian daging buah ini menjadi lunak dan berserabut yang liat dan banyak mengandung air. (Winton, 1949).




B.     Panen dan Pasca Panen Buah Jambu Mete
Panenan hasil dilakukan bilamana buah jambu mete telah masak. Sebagai tanda bahwa buah jambu mete telah masak ialah bilamana warna dassar kulit buah jambu berubah menjadi merah, kuning atau jingga tergantung jenisnya. Pada titik ini maka ciri-ciri yang utama dari buah jambu yang masih hijau, misalnya rasa sepetnya pada kadar yang rendah. Daging buah menjadi lunak, bersifat sukullen/juicy, berasa manis/sugary, dan baunya yang harum spesifik jambu mete mulai timbul. (Muljohardjo, 1990)
Ciri-ciri buah jambu mete yang sudah tua adalah sebagai berikut:
a)      Warna kulit buah semu menjadi kuning, oranye, atau merah tergantung pada
jenisnya.
b)      Ukuran buah semu lebih besar dari buah sejati.
c)      Tekstur daging semu lunak, rasanya asam agak manis, berair, dan aroma
buahnya mirip aroma stroberi.
d)     Warna kulit bijinya menjadi putih keabu-abuan dan mengilat.
Ketepatan masa panen dan penanganan buah mete selama masa pemanenan merupakan faktor penting. Tanaman jambu mete dapat dipanen untuk pertama kali pada umur 3-4 tahun. Buah mete biasanya telah dapat dipetik pada umur 60-70 hari sejak munculnya bunga. Masa panen berlangsung selama 4 bulan, yaitu pada bulan November sampai bulan Februari tahun berikutnya. Agar mutu gelondong/kacang mete baik, buah yang dipetik harus telah tua. (Saragih, 1994)
Proses pemanenan sering berakibat pada pelukaan, terlebih pada saat pengemasan dan transportasi dapat menyebabkan kerusakan lanjutan. Menurut Rukmana (2004). Cara pemanenan buah jambu mete ada dua prinsip, yaitu cara lelesan/pengumpulan dan car selektip. Cara lelesan/pengumpulan yaitu mengumpulkan buah-buah jambu mete yang telah jatuh di atas tanah. Sedangkan cara selektip yaitu memetik buah-buahan jamu mete yang benar-benar telah masak. (Muljohardjo, 1990)

C.    Karakteristik UmumProduk Pasca Panen
Semua produk pascapanen buah dan sayur adalah berupa bagian tanaman hidup. Pengertian ”hidup” mencerminkan bahwa produk tersebut masih melakukan proses fisiologi normalnya. Proses fisiologi yang terjadi meliputi fotosintesis, respirasi, transpirasi dan pelayuan.
1.      Fotosintesis
Fotosintesis adalah suatu proses pada tanaman hijau untuk merubah energi matahari, dengan ketersediaan CO2 dan H2O menjadi karbohidrat dan O2. Proses ini hanya bisa terjadi bila ada sinar. Sinar tersebut harus dengan intensitas tinggi untuk bisa terjadinya fotosintesis yang aktif. Pada fase pascapanen, sinar sering ditiadakan atau ada sinar, tetapi jauh di bawah intensitas yang dapat digunakan untuk fotosintesis. Dari pandangan pascapanen, fotosintesis atau produksi karbohidrat berhenti pada saat pemanenan. Ini berarti bahwa proses hidup yang terjadi setelah panen harus menggunakan karbohidrat cadangan yang terbatas jumlahnya dan terus menurun jumlahnya selama periode pascapanen. Karena produk segar yang dimakan adalah memanfaatkan karbohidratnya, sehingga berkurangnya karbohidrat tersebut harus diminimalkan.
2.      Respirasi
Respirasi dijadikan sebagai indikator dari aktivitas metabolisme dalam jaringan. Aktivitas ini memecah karbohidrat yang diproduksi selama proses fotosintesis dengan ketersediaan O2 yang menghasilkan CO2, H2O dan energi. Proses ini tidak memerlukan air, dan terjadi siang-malam. Tujuan dari teknik pascapanen adalah menurunkan laju respirasi yang berarti pula menurunkan perombakan karbohidrat.
Respirasi memproduksi panas. Setiap gram berat molekul glukosa yang direspirasikan menghasilkan 673 joules energi panas. Panas yang dihasilkan ini menyebabkan masalah selama pendistribusian produk buah dan sayur tersebut.
3.      Transpirasi
Transpirasi adalah proses fisik di mana uap air lepas dari jaringan tanaman berevaporasi ke lingkungan sekitar. Peranan dari transpirasi adalah melepaskan air ke luar struktur tanaman. Untuk mengatur suhu bahan tetap normal melalui proses pendinginan eveporatif. Proses fisiologis ini menggunakan energi dari respirasi untuk merubah air menjadi uap air. Ingat perubahan stadia dari cair menjadi gas adalah membutuhkan energi. Transpirasi, secara prinsip terjadi pada daun melalui struktur yang dinamakan stomata. Sebagai proses yang tipikal yang terjadi pada jaringan hidup, transpirasi dipengaruhi oleh aktivitas fisiologis produk.
4.      Pelayuan
Perkembangan buah dan sayuran dapat dibagi menjadi tiga stadia fisiologis utama setelah perkecambahan. Ketiga stadia tersebut adalah Pertumbuhan, Pendewasaan, dan Pelayuan.
Pertumbuhan meliputi pertambahan dalam ukuran dan bahan kering; Pendewasaan tumpang tindih dengan Pertumbuhan dan melibatkan berbagai aktivitas; Pelayuan meliputi pemecahan bahan kering. Pelayuan
adalah proses fisiologis khusus mengakibatkan degradasi molekul dengan struktur yang komplek. Tanda-tanda Pelayuan dapat meliputi pemecahan klorofil, serta absisi daun dan petala. Pelayuan ádalah termasuk atau bagian dari kemunduran. (Utama, 2013).




D.    Fisiologi Pasca Panen Buah Jambu Mete
Ada beberapa perubahan selama proses pematangan buah antara lain, perubahan pola respirasi, perubahan rasa dan bau, perubahan warna serta perubahan tekstur. Mutu buah-buahan tidak dapat diperbaiki, tetapi hanya dapat dipertahankan. Mutu yang baik diperoleh bila pemanenan hasil dilakukan pada tingkat kemasakan yang tepat. Buah-buahan yang belum masak, bila dipanen akan menghasilkan mutu yang kurang baik dan proses pematangan yang salah. Penundaan waktu pemanenan buah-buahan akan meningkatkan kepekaan buah terhadap pembusukan, akibatnya mutu dan nilai jualnya rendah (Pantastico, 1989).
Selain proses respirasi terjadi pula proses transpirasi, yakni hilangnya air pada jaringan yang masih hidup. Transpirasi dan respirasi ini menyebabkan adanya susut bobot pada buah, namun susut bobot paling besar diakibatkan oleh adanya transpirasi. Dengan terjadinya susut bobot makan mengakibatkan penurunan kualitas. Respirasi merupakan faktor terbesar dalam penurunan kualitas suatu buah. Suhu yang semakin tinggi akan menyebabkan proses respirasi semakin cepat dan semakin cepat respirasi makan semakin cepat pula terjadi penurunan kualitas suatu buah.
Kecepatan pematangan buah terjadi karena zat tumbuh mendorong pemecahan tepung dan penimbunan gula. Proses pemecahan tepung dan penimbunan gula tersebut merupakan proses pemasakan buah dimana ditandai dengan terjadinya perubahan warna, tekstur buah dan bau pada buah atau terjadinya pemasakan buah. Kebanyakan buah tanda kematangan pertama adalah hilangnya warna hijau. Kandungan klorofil buah yang sedang masak lambat laut berkurang. Saat terjadi klimaterik klorofilase bertanggung jawab atas terjadinya penguraian klorofil. Penguraian hidrolitik klorofilase yang memecah klorofil menjadi bagian vital dan inti porfirin yang masih utuh, maka klorofilida yang bersangkutan tidak akan mengakibatkan perubahan warna. Bagian profirin pada molekul klorofil dapat mengalami oksidasi atau saturasi, sehingga warna akan hilang. Lunaknya buah disebabkan oleh adanya perombakan photopektin yang tidak larut. Pematangan biasanya meningkatkan jumlah gula-gula sederhana yang memberi rasa manis (Pantastico, 1989).
Jambu Mete merupakan buah non klimaterik, yakni buah yang memiliki tingkat produksi CO2 yang rendah. Sehingga proses pematangan buah hanya terjadi pada saat buah bergelantungan di pohon. Ketika pasca panen buah jambu mete mengalami beberapa perubahan yang dapat mengakibatkan penurunan kualitas. Perubahan tersebut diantaranya, perubahan warna merah ke merah kehitaman, meningkatnya kadar air, keruskan mekanis karena memar atau kesalahan pemanenan dan pengangkutan, pembusukan karena ditumbuhi kapang, bakteri dan jamur, penurunan susut bobot dan respirasi berlanjut.

III.             PEMBAHASAN

Setelah dilakukan pemanenan buah jambu mete, tentu saja terjadi berbagai perubahan fisiologis, seperti adanya perubahan warna kulit, kerusakan mekanis, susut bobot buah, kerusakan patologis, dan respirasi berlanjut. Buah yang telah dipanen tentu saja diharapkan agar memiliki kualitas yang baik, dalam peningkatan kualitas buah yang telah dipanen tentu saja tidak bisa dilakukan, hanya saja kita bisa mempertahankan kualitas dari buah yang telah dipanen. Maka dari itu akan dibahas perubahan apa saja yang terjadi pada buah jambu mete dan bagaimana cara penanganannya.

a.    Warna kulit dan biji buah jambu mete
Warna kulit jambu mete berwarna merah, kuning atau jingga saat pemasakan. Tetapi warna buah akan berubah menajdi merah kehitaman saat buah mengalami pembusukan karena mengalami memar, kemasukan serangga, meningkatnya kadar air dan mengalami respirasi lanjut.
Buah jambu mete yang kandungan kadar air masih tinggi, selama penyimpanan cairan CNSL (Cashew Nut Shell Liquid) yang ada di dalam kulit akan mendifusi ke dalam biji mete. Sehingga dengan demikian biji mete akan berwarna coklat hitam dan kualitasnya akan menjadi menurun. (Muljohardjo, 1990).
Untuk menghindari perubahan warna kulit dan biji jambu mete diperlukan penanganan pengeringan untuk mengurangi pembusukan karena aktivitas mikroba pada kadar air tinggi yang menyebabkan biji mete berwarn coklat hitam dan diperlukan penanganan pengangkutan dan pemanenan yang benar untuk mengurangi memar pada buah yang menyebabkan warna buah menjadi merah kehitaman



b.   Kerusakan mekanis
Proses pemanenan menyebabkan kerusakan mekanis, menyebabkan produk menjadi stress dan perubahan rekasi metabolisme. Produk secara alami akan memproduksi etilen sebagai respon adanya kerusakan. Etilen adalah hormon tanaman yang mengendalikan fase pelayuan (atau kematian) di dalam tanaman. Pada produk buah dan sayur setelah panen, peningkatan produksi etilen akan mengakibatkan peningkatan laju kemunduran atau kelayuan, yang sangat tidak diinginkan. (Utama, 2013).
Seperti halnya dengan buah-buah yang lain, buah jambu mete ini bilamana telah masak menjadi lunak. (Muljohardjo, 1990).
Buah jambu mete yang rusak karena jatuh dari pohon atau salah cara pemetikan akan menimbulkan lecet-lecet pada jambu mete. Jambu mete mudah memar jika terkena tekanan-tekanan dan mudah matang selama proses pengangkutan atau pendistribusian, sehingga buah mudah membusuk.
Pengangkutan buah jambu mete merupakan bagian penting dalam penanganan lepas panen. Sebab bilamana penanganan buah jambu mete yang kurang memadai dalam pengangkutannya akan menyebabkan terjadinya kerusakan-kerusakan terhadap buah jambu mete. Sehingga dengan demikian juga akan menurunkan kualitasnya. (Muljohardjo, 1990).
Pengangkutan buah jambu mete biasanya dilakukan dengan mengemas dalam bakul/keranjang bambu atau karung goni/kain, dan diangkut menggunakan gerobag, truk dan alat-alat transportasi lainnya untuk mengurangi tingkat kerusakan mekanis jambu mete.

c.    Kerusakan Patologis
Kerusakan dan susut karena pembusukan untuk produk segar cukup tinggi. Kerusakan ini terutama berakibat terhadap penurunan mutu. Kebanyakan infeksi yang dilakukan oleh mikroorganisme patogenik adalah melalui jaringan yang rusak secara mekanis (luka atau kulit yang tertusuk). Dengan demikian, metode penanganan setelah panen akan sangat menentukan besar-kecilnya pembusukan pascapanen. Pembusukan pascapanen untuk produk segar umumnya disebabkan oleh jamur dan bakteria. Untuk buah-buahan, umumnya yang menyerang adalah jamur sedangkan sayur-sayuran adalah bakteri. Hal ini kemungkinan disebabkan oleh pH buah-buahan yang umumnya di bawah 4.5, yang menghambat kebanyakan bakteri pembusuk. (Utama, 2013)
Jambu mete saat dipanen atau segar lepas dipungut/dikumpulkan masih banyak mengandung air. Kadar air jambu mete saat dipanen kurang lebih 16%. Pada kadar air yang tinggi ini mudah sekali diserang oleh serangga, kapang, jamur dan bakteri sehingga cepat terjadi pembusukan.
Untuk mengurangi kadar air jambu mete agar tidak mudah rusak dilakukan pengeringan dan dehidras. pengeringan kacang mete bertujuan untuk mencegah serangan hama dan jamur serta meningkatkan daya simpan. Pengeringan tidak boleh terlalu berlebihan karena dapat menyebabkan kacang mete rapuh sehingga dapat meningkatkan persentase pecah pada penanganan selanjutnya.
Karena pada kadar air yang tinggi serangga dapat masuk menembus ke dalam biji dengan jalan melubangi biji pada bagian pangkal buah, ialah tempat melekatnya buah semu. (Muljohardjo, 1990).
d.   Susut Buah dan Respirasi
Susut bobot merupakan salah satu faktor yang mengindikasikan penurunan mutu buah (Pratiwi, 2008).
Kehilangan air dapat mengakibatkan susut produk secara qualitatif dan kuantitatif. Mengurangi penampakan karena pelayuan dan pengkerutan, mengurangi sukulensi karena penurunan turgiditas, berkurangnya kerenyahan dan hilangnya juiceness, semuanya adalah kehilangan kualitatif. Untuk produk- produk yang dijual berdasarkan berat, kehilangan air adalah bersifat kuantitatif. (Utama, 2013)
Transpirasi merupakan proses fisiologis, yakni hilangnya air pada jaringan yang masih hidup dan merupakan faktor dominan penyebab susut bobot. Transpirasi terjadi secara fisiokimia berupa penyerapan dan pelepasan air ke lingkungan. Kerusakan tekstur dan pengerutan merupakan indikasi yang dipengaruhi oleh kehilangan air.
Kecepatan respirasi merupakan indikator mutu. Semakin cepat respirasi, makan penurunan kualitas semakin banyak. Respirasi pun dipengaruhi oleh suhu, semakin tinggi suhu semakin cepat respirasi dan semakin banyak substrat yang akan dirombak.
Pada saat susut buah jambu mete menurun, diiringi dengan menurunnya kadar vitamin C dan kadar tanin. Susut buah juga menyebabkan jambu mete mengalami penurunan turgiditas, berkurangnya kerenyahan dan hilangnya juiceness, dan berat buah menurun.
Untuk mengendalikan susut buah, respirasi, menurunnya kadar tanin dan vitamin C diperlukan pelapisan lilin dan pengemasan sangat efektif dalam mempertahankan bobot buah, hal ini terjadi karena proses transpirasi dan respirasi pada buah jambu mete dapat dihambat dengan penutupan stomata melalui pelapisan lilin dan kemasan. Kehilangan air bukan hanya mengurangi bobot, tetapi juga menyebabkan penampakan buah menjadi kurang menarik, tekstur jelek dan mutu menurun.
Kader (1985) menyatakan bahwa dengan modifikasi udara penyimpanan akan dapat menghambat laju respirasi, menunda penurunan kekerasan buah serta menghambat perubahan komposisi buah, dimana proses tersebut berhubungan dengan proses pemasakan.


IV.             KESIMPULAN DAN SARAN

A.    Kesimpulan
Jambu Mete (Anacardium occidentale) merupakan buah non klimaterik, yakni buah yang memiliki tingkat produksi CO2 yang rendah. Sehingga proses pematangan buah hanya terjadi pada saat buah bergelantungan di pohon. Ketika pasca panen buah jambu mete mengalami beberapa perubahan yang dapat mengakibatkan penurunan kualitas. Perubahan tersebut diantaranya, perubahan warna merah ke merah kehitaman, kerusakan patologis, kerusakan mekanis karena memar atau kesalahan pemanenan dan pengangkutan, pembusukan karena ditumbuhi kapang, bakteri dan jamur, penurunan susut bobot dan respirasi berlanjut. Untuk susut bobot disebabkan oleh adanya proses transpirasi, yakni proses yang terjadi secara fisiokimia berupa penyerapan dan pelepasan air ke lingkungan. Upaya yang adapat dilakukan untuk mempertahankan mutu buah jambu mete diantaranya adalah pengeringan dan dehidrasi, pendinginan, pengemasan, pelapisan lilin dan modifikasi atmosfer penyimpanan. Dengan perlakuan yang baik dan tepat diharapkan mampu mempertahankan kualitas buah jambu mete pasca panen,

B.     Saran
Sering dilakukan penelitian buah jambu mete  untuk mempertahankan kualitas buah. Penelitian yang dilakukan diharapkan baik dan tepat, serta efisien. Sehingga kualitas dan umur simpan dari buah jambu mete mampu bertahan lebih lama. Selain itu dalamdalam pemanenan jambu mete harus dilakukan dengan benar, karena sjambu mete yang mudah rusak saat kesalahan melakukan pemanenan.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar